9 Penulis Indonesia Terbaik Sepanjang Masa
7 min read9 Penulis Indonesia Terbaik Sepanjang Masa – Penulis Indonesia menawarkan sejarah sastra dan penceritaan unik dunia yang berasal dari abad ke-8. Indonesia adalah negara kepulauan yang indah di antara samudra Pasifik dan Hindia, menghubungkan Asia Selatan dan Timur dengan Oseania. Meskipun bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara, banyak buku dan karya lain yang ditulis oleh penulis Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa lain sehingga pembaca di seluruh dunia dapat menikmatinya.
9 Penulis Indonesia Terbaik Sepanjang Masa
scribesworld – Banyak orang di Indonesia juga berbicara bahasa Melayu, bahasa yang namanya sama dengan sekelompok orang asli negara tersebut. Mirisnya, banyak masyarakat adat di Indonesia yang harus terus memperjuangkan kemerdekaan dan hak-haknya. Seiring waktu, orang harus berjuang untuk melestarikan sejarah mereka. Baik cerita maupun karya sastra telah memungkinkan sejarah diwariskan dari generasi ke generasi. Sementara banyak sastra Indonesia berfokus pada perjuangan untuk hak asasi manusia dan perlakuan yang adil, penulis Indonesia secara teratur menempa surealisme dan fiksi, melukis gambar unik untuk pembaca.
Sastra Indonesia memiliki cerita sejarah, dengan berbagi cerita dadakan yang tersebar luas yang dikenal sebagai pantun. Bentuk penceritaan improvisasi ini telah banyak membentuk apa yang dilihat pembaca dari sastra Indonesia saat ini. Orang Jawa, kelompok masyarakat asli Indonesia lainnya, dikenal karena kecintaan mereka pada puisi, sering menyebut penyair sebagai suara angin. Di sini, kita akan menelusuri penulis-penulis novel, cerpen, puisi, dan sastra Indonesia paling terkenal lainnya, dari penulis-penulis terkenal yang telah membentuk sastra Indonesia hingga yang membuat gelombang hari ini.
Baca Juga : 10 Buku Novel Karya HG Wells Terbaik
1. Andrea Hirata
Lahir pada tahun 1967 di Belitung, Andrea Hirata terkenal karena buku terlaris tahun 2005 Pasukan Pelangi (Laskar Pelangi). Penulis yang berpendidikan tinggi ini memulai pendidikan tinggi dengan meraih gelar sarjana ekonomi, kemudian meraih gelar masternya di Universitas Sheffield Hallam di Inggris Raya. Hirata menulis novel pertamanya, The Rainbow Troops, selama enam bulan. Buku tersebut memaparkan pengalaman penulis semasa kecil di Indonesia. Sebagian besar buku ini menyentuh disonansi antara kekayaan pulau dan kurangnya kesempatan bagi anak-anak Indonesia.
Hirata telah menulis tiga sekuel dari The Rainbow Troops: Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. The Rainbow Troops dijadikan film tiga tahun setelah novelnya diterbitkan. Film ini tercatat dalam sejarah sebagai film Indonesia yang paling banyak ditonton. Saat menulis The Rainbow Troops, Hirata bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi. Kesuksesan buku tersebut memungkinkan dia untuk berhenti dari pekerjaan hariannya dan sepenuhnya fokus pada karir menulisnya. Pada tahun 2010, Hirata menghadiri International Writer’s Workshop di University of Iowa.
2. Ayu Utami
Ayu Utami adalah seorang penulis Indonesia yang dikenal luas karena memulai gerakan Sastra Wangi. Sastra Wangi menggambarkan jenis baru sastra Indonesia oleh perempuan yang tertarik mengangkat isu-isu sosial yang menantang. Karya politik Utami telah membuka jalan bagi perempuan Indonesia lainnya untuk membahas topik-topik seperti seksualitas dan agama. Utami bekerja sebagai jurnalis bawah tanah, karena beberapa majalah di daerah tersebut telah dilarang secara berkala karena perubahan struktur politik. Penulis dibesarkan di Jakarta, ibu kota Indonesia.
Dia belajar bahasa dan sastra selama masa kuliahnya dan terpilih sebagai finalis dalam kontes kecantikan pada tahun 1990. Dia memilih untuk tidak melanjutkan karir modeling. Penulis telah bekerja sebagai penulis untuk banyak majalah di Indonesia, antara lain D&R, Humor, Matra, dan Forum Keadilan. Novel Utami tahun 1998, Saman, dianggap karyanya yang paling banyak dibaca. Saman meraih juara pertama dari Pesta Kesenian Jakarta tahun 1998 dan juga meraih Prince Claus Award. Utami menulis lanjutan dari novel berjudul Larung.
3. Pramoedya Ananta Toer
Penulis, ekonom, dan sejarawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer lahir di Hindia Belanda pada tahun 1925. Karya-karya Toer merentang bertahun-tahun dalam sejarah Indonesia, sejak negara itu berada di bawah Pemerintahan Belanda hingga rezim Sukarno dan Suharto. Karyanya dikenal karena memasukkan tema sejarah dan politik yang kompleks dari peristiwa dunia nyata di Indonesia semasa hidupnya. Seperti kebanyakan penulis Indonesia, beberapa karya Toer dilarang karena bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Toer juga ditangkap dan dipenjarakan di bawah rezim Suharto. Dia tidak diperbolehkan menulis selama di penjara, tetapi dia berhasil mengembangkan serialnya yang paling terkenal, Kuartet Buru.
Kuartet ini terdiri dari empat buku fiksi sejarah yang merinci sejarah Indonesia pada masa Toer tumbuh dewasa. Toer melakukan riset untuk buku-buku tersebut sebelum masuk penjara dan mengarang novel secara lisan. Tahanan lain membantunya melestarikan karyanya, karena dia tidak diizinkan mengakses bahan tulis. Ketika Toer dibebaskan dari penjara, ia sering menulis artikel kritis terhadap pemerintah Indonesia. Selain karya jurnalistik, dia menulis The Girl From the Coast, berdasarkan kehidupan neneknya. Sepanjang hidupnya, Toer meraih banyak penghargaan, antara lain PEN/Barbara Goldsmith Freedom to Write Award (1988), Stitching Wertheim Award (1992), Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts (1995).
4. Eka Kurniawan
Penulis Indonesia pertama yang dinominasikan untuk Man Booker International Prize, Eka Kurniawan dikenal dengan beberapa novel, termasuk Man Tiger 2015 dan Vengeance Is Mine 2019, All Others Pay Cash. Penulis juga seorang penulis skenario. Selain buku dan naskah, Kurniawan senang menulis cerpen dan esai. Saat ini, karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 24 bahasa. Salah satu buku Kurniawan, Beauty is a Wound, masuk dalam top 100 notable book versi The New York Times. Kurniawan menggambarkan buku ini sebagai pendekatan langsung terhadap isu-isu sosial di Indonesia.
Kurniawan telah digembar-gemborkan sebagai penulis paling menarik di Indonesia. Banyak penggemar menghargai kemampuannya untuk berbicara tentang masalah sosial yang sulit tanpa berbelit-belit. Dia menarik perhatian langsung ke masalah yang sudah lama perlu diselesaikan. Pembaca tidak hanya melihat kemampuan Kurniawan membuat surealis menjadi nyata penonton film juga menikmati karya penulis. Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash dibuat menjadi film yang dirilis pada tahun 2021. Film ini diterima dengan baik oleh para kritikus dan penonton. Setelah debutnya di Festival Film Locarno, film tersebut memenangkan hadiah festival teratas Golden Leopard untuk Film Terbaik.
5. Intan Paramaditha
Terkenal karena novelnya The Wandering, Dr. Intan Paramaditha adalah seorang penulis cerita pendek dan profesor di Universitas Macquarie di Sydney, Australia. Paramaditha dipuji karena tulisan dan karya akademisnya serta komitmennya terhadap feminisme di tengah iklim politik yang menantang di Indonesia. The Wandering memenangkan beberapa penghargaan, antara lain Tempo Best Literary Fiction Award, English PEN Translates Award, dan Translation Fund Grant dari PEN America.
Paramaditha juga berdedikasi pada puisi Indonesia dan berperan sebagai Murid Deviant: redaktur Penyair Perempuan Indonesia. Selain novel, puisi, dan cerpennya, Paramaditha juga menulis beberapa artikel ilmiah di Macquarie dan di Sarah Lawrence College dan Universitas Indonesia. Makalah akademisnya telah diterbitkan di banyak jurnal peer-review, termasuk Film Quarterly, Inter-Asia Cultural Studies, dan Visual Anthropology.
Penulis berkomitmen untuk memberi kembali kepada orang lain dan ikut mendirikan Sekolah Pemikiran Perempuan. Organisasi ini bekerja untuk menciptakan intervensi guna membantu perempuan di negara berkembang untuk melawan sistem yang membuat mereka tidak bisa berprestasi. Program SPP menawarkan simposium Sekolah Pemikiran yang memungkinkan perempuan dan anak perempuan berkumpul untuk berbagi ide dan mendorong satu sama lain dalam menghadapi sistem heteropatriarkal yang mengancam kemampuan mereka untuk berhasil.
6. Sapardi Djoko Damono
Sapardi Djoko Damono secara luas dianggap sebagai penyair liris pertama di Indonesia. Sebagai seorang anak, Damono suka membaca, dan dia mulai menulis puisi di usia muda. Ia mulai belajar sastra di Universitas Gajah Mada dan akhirnya meraih gelar sarjana. Pada tahun 1993, Damono menjadi guru besar di Universitas Indonesia. Kumpulan puisi pertama pengarang, DukaMu Abadi (Kesedihan Abadimu), diterbitkan pada tahun 1969. Kumpulan puisi tersebut berfokus pada betapa sulitnya mempertanyakan keberadaan seseorang dan membahas kondisi manusia. Mengikuti DukaMu, Damono menulis Akuarium (Akuarium) dan Mata Pisau (Pisau), keduanya diterbitkan pada tahun 1974. Penulis dianugerahi SEA Write Award untuk puisi pada tahun 1986. Setelah karyanya yang sangat dihargai di bidang sastra Indonesia, Damono menjadi secara tidak resmi dikenal sebagai Guru Besar Penyair Indonesia di Universitas Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai dekan fakultas.
7. Clara Ng
Clara Ng adalah sastrawan kelahiran Jakarta yang dipuja karena karya sastra anak-anak dan dewasanya. Setelah menyelesaikan sekolah menengah, Ng meninggalkan Indonesia untuk belajar di Ohio State University. Dia kemudian kembali ke Indonesia untuk waktu yang singkat, di mana dia bekerja di sebuah perusahaan besar. Akhirnya, dia berhenti dari pekerjaannya untuk menjadi penulis penuh waktu. Seri pertamanya, Indiana Chronicle, menerima pujian kritis.
Selain novel fiksi dewasanya, Ng juga banyak menulis cerpen dan kumpulan dongeng. Sebagai ibu rumah tangga, Ng memiliki cara pandang yang unik dalam mengajarkan empati kepada anak-anak dan bekerja untuk membuat cerita anak-anaknya menyenangkan sekaligus penuh pelajaran yang dapat digunakan dalam kehidupan. Beberapa orang mengkritik Ng karena mendorong agenda moral dalam buku anak-anaknya.
Salah satu cerpen Ng berjudul Barbie pernah dibuat film pada tahun 2010 dan dipresentasikan di LA Lights Indie Movie Festival. Film dimulai Raffi Ahmad dan menceritakan kisah seorang satpam dan penyanyi di sebuah klub malam yang sedang jatuh cinta. Selain menerima pengakuan publik dan kritis yang luas, Ng juga telah diakui oleh Asosiasi Penerbit Indonesia dengan Penghargaan Adhikarya untuk Buku Anak Terbaik untuk cerita tahun 2006 Rambut Pascal.
8. Dee Lestari
Dee Lestari (juga dikenal dengan nama lengkapnya, Dee Lestari Simangunsong), seorang penulis lagu, pengarang, dan penyanyi Indonesia, lahir di Bandung. Keluarganya religius dan membesarkannya untuk aktif dalam pertunjukan musik lokal. Saat remaja, dia menyanyikan vokal cadangan untuk musisi populer. Belakangan, ia membentuk grup penyanyi, RSD, dengan dua temannya. Bersama-sama, mereka merilis tiga album serta album greatest hits. Lestari memulai debutnya sebagai penulis pada tahun 2001 dengan novel Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh (The Knight, The Princess, and The Falling Star), buku pertama dalam The Supernova Series. Pada 2006, ia merilis kumpulan cerita pendek berjudul Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade. Penulis merilis proyek lain pada tahun 2006 yang dikenal sebagai Rectoverso, yang dijuluki sebagai campuran dari buku dan album. Kumpulan cerita pendek berfungsi sebagai pengantar untuk album solo debutnya, Out of Shell.
9. Clarissa Goenawan
Clarissa Goenawan adalah seorang penulis Indonesia-Singapura yang baru-baru ini diakui untuk novelnya Watersong, yang memulai debutnya pada tahun 2022. Buku-bukunya yang lain termasuk The Perfect World of Miwako Sumida (dirilis pada tahun 2020) dan Rainbirds, novel debutnya, yang dirilis pada tahun 2018. Saat ini, karya Goenawan telah diterjemahkan ke dalam 11 bahasa. Penulis telah dipuji karena pemikirannya, karyanya yang kuat. Misteri sastranya berlatarkan Jepang dan membantu pembaca merasa seperti diliputi budaya Asia.